Kita dan Pancasila

Bengkulu Post_Pada 1 Juni 2017 adalah hari pancasila dan libur nasional. Persoalan bangsa yang kini semakin akut, sepertinya harus segera dibenahi. Perpolitikan Indonesia yang kemudian menimbulkan berbagai konflik yang dimulai dari penistaan agama oleh Ahok, persoalan perdebatan keberadaan Pancasila yang sistemnya kini mengarah pada konflik bernegara. Berbagai wacana  para intelektual yang mengundang semangat persatuan hingga mengarah pada rencana makar? Terus terang membingungkan kita masyarakat desa.

Ditengah hiruk pikuknya drama televisi yang menghadirkan kesaksian para tokoh elite politik, atau sekedar pengamat yang mewacanakan agar bangsa tetap utuh dalam kesatuan NKRI. Justru tidak mengajak kita menjadi “pintar” untuk membangun negeri kita, membangun desa kita yang terus rapuh.

Padahal, pendahulu kita Soekarno pernah menyampaikan amanatnya, yakni tujuan dan maksud pembangunan semesta adalah membangun masyarakat adil dan makmur; adil dan makmur yaktu menurut tinjauan ajaran pancasila.

Namun, sebenarnya selama 72 tahun merasakan kemerdekaan, sudah banyak pencapaian yang didapatkan. Desa sebagai struktur paling bawah dalam pemerintahan, mungkin sudah merasakan berbagai pembangunan dan pengembangan yang modern.Apalagi ketika desa tersebut berada di ibukota yang pembangunannya sangat pesat.

Dimulai dari sila ketuhanan yang maha Esa. Keberagaman agama dan kepercayaan masing-masing tidak saling mendiskriminasi. Masyarakat desa menjalankan ibadahnya, dan ketika terjadi perbedaan pemahaman akan diselesaikan dalam musyawarah. Namun yang paling penting, masyarakat desa menjadikan agama dan nilai spiritual sebagai kekuatan utama. Modal kekuatan inilah yang kuat melandasi gaya hidup masyarakat desa yang non materialis dan sikap mereka terjaga dalam moralitas agama.

Rangkaian kehidupan manusia yang adil dan beradab, terefleksi dalam kehidupan masyarakat desa yang mendahulukan adab atau tata kesopanan. Jangan heran, jika orang desa akan lebih mudah tersinggung jika sopan santun dan tata krama tidak diindahkan. Nilai persatuan dan kesatuan juga, menjadi hal penting dalam semangat gotong royong yang hingga kini tetap lestari didesa.

Sila keempat Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan terangkum dalam kuatnya musyawarah desa. Hal yang klasik dan mudah dijumpai didesa-desa kita, semudah mengajak masyarakatnya untuk berkumpul dan bermufaka untuk mewujudkan kehendak dan cita-cita keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Bukankah hal ini sudah menjadi kebiasaan kita bagi warga desa, yang secara sadar atau tidak menjalankan penuh semangat dan cita-cita Pancasila?

Malah kita rakyat desa ini bertanya-tanya, kenapa hal klasik yang biasa kita lakukan dalam berkehidupan kini diprotes oleh para elite negeri? Ada apa dengan para pimpinan negeri kita? Ada persoalan apa dengan Pancasila yang selama ini sudah mendarah daging dalam kehidupan sehari-hari, yang terefleksi dalam semangat membangun desa?

Ataukah para pimpinan dan elite negeri kita harus belajar kembali bagaimana bertata krama dan bersopan santun yang baik pada kita? Tidakkah elite negeri ini belajar kembali bagaimana cara bermusyarawah dan mufakat lewat tanggungjawab moral bertetangga, menghormati tetua desa, dan belajar untuk mendengarkan orang lain karena nasihatnya rasional dan masuk diakal. Mungkinkah sudah terlalu banyak orang pintar di negeri ini, hingga meracuni orang lain tanpa menyadari pentingnya menjaga persaudaraan. NKRI tetap utuh, semangat membangun desa kita tecermin dari menguningnya padi, derasnya getah karet yang mengalir dari pohon-pohon balam yang kini harganya masih murah. Pancasila adalah semangat kita warga desa, bersatu dalam negeri Indonesia. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *