Bengkulu Post_Para kepala daerah tengah memperjuangkan keberadaan tenaga kerja honorer atau non-ASN setelah pemerintah berencana menghapus status kepegawaian tersebut pada 2023.
Ketentuan ini berdasarkan peraturan yang tertuang dalam PP 49/2018 tentang Manajamen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja [PPPK]
Dalam aturan itu, pegawai non-ASN di instansi pemerintah akan melaksanakan tugas mereka paling lambat hingga tahun 2023 mendatang.
Alhasil, pemerintah daerah (Pemda) pusing tujuh keliling mengingat sebagian kepala daerah masih mengunakan tenaga honorer seiring dengan anggaran yang terbatas.
Sebagai jalan keluar, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) dan sejumlah Pemda yang tergabung dalam Apeksi, Apkasi dan APPSI bersepakat untuk mengkaji kembali wacana penghapusan.
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Abdullah Azwar Anas mengungkapkan solusinya yang akan mengizinkan Pemda mengangkat honorer, tetapi hanya sepanjang masa jabatan kepala daerah.
“Ini solusi, kira-kira begitu. Kalau enggak ada solusi marah semua bupati,” ujar Anas dalam rapat dengan Komite I DPD, dikutip Kamis (15/9/2022).
Dari solusi tersebut, pemerintah pusat dan Pemda sepakat membentuk tim kecil.
Ketua Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) Bima Arya Sugiarto menjelaskan bahwa pemerintah dan Pemda akan membentuk tim kecil untuk menyamakan persepsi terhadap penyelesaian tenaga non-ASN atau honorer.
Nantinya, tim ini juga akan mendorong masing-masing instansi pemerintah pusat dan daerah dalam percepatan proses pementaan validasi data, penganggaran dan menyiapkan peta jalan yang realistis.
“Kami sepakat mencari solusi terbaik masa depan tenaga honorer se-Indonesia, kami perjuangkan semaksimal mungkin Insya Allah ada titik temu,” papar Bima Arya dalam video yang diunggah di Instagram @bimaaryasugiarto, dikutip Kamis (15/9/2022).
Ada tiga poin win win solutions yang akan didorong Pemda, menurut Bima Arya.
Pertama, Pemda akan memprioritaskan honorer dengan masa pengabdian yang lama untuk bisa masuk formasi PPPK.
Kedua, Pemda berharap pemerintah pusat akan memperjuangkan anggaran dari Dana Alokasi Umum (DAU) untuk membantu pembiayaan pemerintah daerah.
Ketiga, pembentukan kanalisasi tenaga kerja yang tidak bisa diakomodasi menjadi ASN atau PPPK melalui kolaborasi bersama kementrian lain, seperti Kementerian Koperasi dan UKM, Kementerian Perdagangan dan lainnya.
Penolakan Pemda
Terkait dengan ramainya penolakan Pemda soal status tenaga honorer, Deputi Bidang SDM Aparatur Alex Denni menjelaskan bahwa masalah Pemda sebenarnya bukan soal istilah PPPK atau honorer, tetapi lebih soal anggaran.
Selama ini, tarif gaji PPPK ditetapkan sesuai UMR dan dipatok sesuai aturan. Oleh karena itu, dia melihat pertimbangan menetapkan gaji PPPK dengan bentuk kisaran yang memuat batas atas dan bawah.
“Berapa wajar gajinya. Itu kita bisa sepakati ada rentang gaji, tentunya kalau disepakati ini tidak akan menjadi isu,” ujarnya.
Namun, dengan win win solutions di atas, Pemda tampaknya berniat mengangkat status honorer menjadi PPPK dengan catatan dukungan dari anggaran DAU.
Pada dasarnya, pemerintah memiliki alasan mulia untuk menghapus keberadaan tenaga honorer.
Almarhum Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Tjahjo Kumolo pernah mengungkapkan alasan mulia Jokowi dalam hal ini yang mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) 49/2018 tentang Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja.
“Sebetulnya, amanat PP ini justru akan memberikan kepastian status kepada pegawai,” kata Tjahjo.
Ketika tenaga honorer menjadi PNS, sambung Tjahjo, mereka sudah memiliki standar penghasilan dan kompensasi sendiri. Begitupun saat mereka diangkat sebagai outsourcing di suatu perusahaan di mana sistem pengupahannya tunduk pada aturan.
“Kalau statusnya honorer, tidak jelas standar pengupahan yang mereka peroleh.”
Sumber : Elmadani.id