Bengkulu Post | Religi-Menghina orang lain termasuk ke dalam perbuatan tercela serta dilarang dalam agama Islam. Serius ataupun bercanda, menghina orang lain tetaplah hal yang tidak dibenarkan karena dapat membuat mereka yang dihina merasa sakit hati.
Bahkan, terdapat salah satu ayat dalam Alquran yang mempertegas bahwa Allah SWT membenci orang yang suka menghina orang lain. Begini bunyi ayatnya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik.” (QS. Al Hujurat: 11).
Imam Ibn Katsir berkata dalam Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adzim bahwa, ayat di atas berisi larangan meremehkan dan menghina orang lain. Sebab, perbuatan tersebut termasuk ke dalam kategori sombong. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW:
ADVERTISEMENT
الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ
Artinya: “Sombong adalah sikap menolak kebenaran dan meremehkan manusia.” (HR. Muslim).
Selain ayat Alquran, larangan menghina orang lain juga banyak tercantum dalam hadits berdasarkan sabda Rasulullah SAW. Dikutip dari buku 70 Hadits Pilihan untuk Anak oleh Lia Fitriani, berikut kumpulan hadits tentang menghina orang lain selengkapnya.
Dalil Hadits Menghina Orang Lain
Jika seseorang mencela sesama Muslim dengan panggilan-panggilan yang buruk, ia berhak mendapatkan hukuman dari penguasa. Diriwayatkan dari sahabat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu ketika Rasulullah ditanya tentang hukuman bagi orang yang menghina orang lain, maka beliau radhiyallahu ‘anhu berkata:
هن فواحش فيهن تعزير وليس فيهن حد
Artinya: “Itu perbuatan buruk, terdapat hukuman ta’zir (hukuman yang kadarnya tidak ditentukan secara baku oleh syari’at), namun tidak ada hukuman hadd (hukuman baku yang telah ditentutan kadarnya oleh syari’at) untuknya.” (HR. Al-Baihaqi 8: 253 dan dinilai hasan oleh Al-Albani).
Namun terkadang, cacian juga bisa disebabkan karena adanya pertengkaran dan perselisihan. Dalam masalah ini, hendaknya kita senantiasa mengingat bahwa saling mencaci yang terjadi di antara dua orang yang sedang berselisih, maka dosanya akan ditanggung oleh pihak yang memulai. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits berikut:
الْمُسْتَبَّانِ مَا قَالَا فَعَلَى الْبَادِئِ، مَا لَمْ يَعْتَدِ الْمَظْلُومُ
Artinya: “Apabila ada dua orang yang saling mencaci-maki, maka cacian yang diucapkan oleh keduanya itu, dosanya akan ditanggung oleh orang yang memulai, selama orang yang dizalimi itu tidak melampaui batas.” (HR. Muslim dan Abu Dawud).
Dalam hadits di atas, dosa saling mencaci-maki antara dua orang itu akan ditanggung oleh pihak yang memulai. Hal ini dengan syarat bahwa pihak yang dicaci itu tidak membalas cacian tersebut dengan kuantitas dan kualitas yang lebih buruk.
Jika dia membalas dengan cacian yang lebih buruk (baik secara kuantitas atau kualitas), maka dosanya itu dia tanggung sendiri, sedangkan sisanya ditanggung oleh pihak yang memulai.
Selain dilarang menghina sesama Muslim, Rasulullah bahkan juga melarang umatnya untuk menghina binatang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا تَسُبُّوا الدِّيكَ فَإِنَّهُ يُوقِظُ لِلصَّلَاةِ
Artinya: “Janganlah Engkau mencela ayam jantan, karena sesungguhnya ayam jantan itu yang membangunkan kalian shalat.” (HR. Abu Dawud, dinilai shahih oleh Al-Albani).
(NS)
Sumber; https://kumparan.com